Laman

profil

Rabu, 06 Januari 2016

Menjadi Guru yang Dicintai Siswa

Menjadi Guru yang Dicintai Siswa

Guru terlebih dahulu harus mencintai siswanya dengan memunculkan segala yang disuka siswa.
Mengharap seseorang mencintai kita tentu tidaklah mudah. Namun, tentu saja bukan hal yang mustahil, apalagi jika kita telah banyak tahu tentang orang tersebut. Jika keinginan untuk dicinta tersebut berhasil, maka rasa senang tak terhingga pada diri kita. Cinta sejati, itulah cinta yang diharapkan. Bukan cinta buta yang sering membuat kita tidak terkontrol dan rela melakukan apa saja. Cinta sebenarnya anugerah dari-Nya yang tentu saja harus diusahakan kehadirannya dan dijaga kelestariannya. Melakukan apa yang disenangi dari yang diharapkan cintanya tersebut tentu suatu yang harus dilakukan. Seperti halnya guru yang mengharap cinta siswanya, haruslah mengusahakan segala yang disukai oleh siswanya itu.

Apa yang disukai siswa?

Dimana ada gula di situ ada semut. Demikian pepatah yang lazim untuk mengungkap kedekatan antara satu dengan yang lainnya. Apakah sesuai jika dikatakan: dimana ada guru di situ ada siswa? Jika kalimat tersebut untuk menyatakan yang terlihat kasat mata, bahwa interaksi belajar mengajar terjadi dengan keberadaan guru dengan siswa, maka hal tersebut benar. Namun, jika yang diharapkan seperti arti pepatah tadi, maka harus lebih diteliti lebih mendalam lagi. Semut akan mendekati dan mengerumuni gula karena mereka (semut) sangat suka mengonsumsi gula. Semut dengan rela dan ikhlas bahkan senang menyatu dengan gula. Semut akan merasa rugi jika gula ada disekitarnya tapi mereka tidak mendekatinya. Semut akan selalu merindukan gula.

Seringkali proses pembelajaran yang berlangsung yang menampilkan interaksi antara guru dan siswa, diselimuti keterpaksaan. Masing-masing hanya menjalankan fungsinya, tanpa ada rasa saling membutuhkan. Sering, bukan rasa senang yang ada dengan pertemuan guru siswa tapi malah perasaan jenuh dan membosankan. Tentu, tujuan dari berlangsungnya proses pembelajaran tidak akan tercapai jika kondisi tersebut senantiasa terjadi. Seperti halnya gula dengan rasa manisnya sehingga menarik semut untuk mengerumuninya, maka guru haruslah memahami apa yang disukai siswa sehingga siswa memunyai alasan untuk mencintai gurunya.

Hubungan antara guru dengan siswa adalah hubungan yang tidak sederajat. Artinya harus ada yang melakukan pengondisian sehingga hubungan harmonis dapat tercipta. Tentu dalam hal ini, guru merupakan factor penentu menciptakan hubungannya dengan siswa menjadi berhasilguna. Guru sejatinya mengondisikan dirinya sesuai apa yang diharapkan siswa ada pada gurunya. Sebagai guru, tentu telah memahami apa saja yang menjadi kesukaan siswa. Itulah yang harus dimunculkan dan biasakan ada pada saat interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran.

Hampir semua siswa akan menyukai gurunya yang pintar dan beretika. Humoris tentu tak kalah pentingnya harus dimiliki guru sebagai hal yang juga disukai siswa. Kepedulian dan kasih sayang akan membuat siswa “kelimpungan” kepada gurunya itu. Serius dan tegas juga sekali-kali disukai siswa ada pula pada kepribadian gurunya. Sepatutnya, kesemua yang disukai siswa tersebut ada pada diri guru dengan tanpa hal yang dibuat-buat tetapi merupakan kepribadian yang melekat. Tapi, jika beberapa hal yang tak mungkin menjadi kepribadian guru, maka tentu saja dapat “dipaksakan” untuk dimunculkan. Jika seorang guru yang serius, sering sulit untuk humoris. Pada titik inilah, “perjuangan” untuk dicinta oleh siswa harus “dikobarkan”.

Menggapai Cinta Siswa yang Sejati

Cinta yang dimaksud tentu bukan cinta dengan lawan jenis, tetapi kecintaan antara pendidik dengan peserta didik. Jika seorang guru telah memunculkan apa yang disukai oleh siswa, maka kecintaan yang diharapkan dari siswanya akan hadir. Guru akan senang tatkala siswa menunggunya dengan keceriaan saat proses pembelajaran akan berlangsung. Guru akan gembira manakala siswa menantinya dan menanyakan alasan ketidakhadirannya. Guru akan optimis disaat kelas menjadi hidup dari keaktifan siswa mengikuti pembelajaran. Kesemua itu merupakan penjelmaan cinta siswa kepada gurunya.

Sangat disayangkan jika ada guru yang justru tak ingin dicinta oleh siswa. Bukan dari mulut lontaran ketidaksukaannya dengan cinta siswa, namun dari sikap dan prilaku guru tersebut. Guru yang hanya berkutat pada kondisi sekadar menjalankan tugasnya saja. Guru yang merasa cukup dengan kompetensinya yang tanpa perkembangan sejak awal menjadi guru. Guru yang tidak berusaha menciptakan suasana kelas yang hidup, bahkan memelihara kelas yang kaku dan “angker”. Guru yang hanya selalu ingin dimengerti dan dituruti oleh siswa. Guru yang merasa profesinya sebagai guru adalah untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan siswa. Semuanya itu merupakan sikap dan prilaku guru yang tak mengharap cinta siswa.

Cinta siswa yang sejati kepada gurunya, bukanlah berwujud ketegangan dan kekakuan dalam menerima pelajaran. Bukan pula senyum merekah saat bertemu guru dan tatkala guru telah berlalu berubah menjadi celoteh. Oleh karena itu, guru terlebih dahulu harus mencintai siswanya dengan memunculkan segala yang disuka siswa. Cinta siswa yang sejati kepada guru, akan mengalirkan apa yang guru harapkan kepada siswa, dapat terwujud. Keikhlasan dan kerinduan siswa menerima pendidikan dan pengajaran dari guru akan berwujud keberhasilan siswa sebagai harapan semua guru. Oleh karena itu, menjadi sangat penting menggapai kondisi dimana guru yang dicinta oleh siswa. Cinta sejati siswa akan terus dibawanya meskipun interaksi dalam proses pembelajaran dengan gurunya tidak terjadi lagi. SEKIAN.

*) Ditulis oleh MUH. SYUKUR SALMAN, Guru SD Negeri 71 Parepare [ SekolahDasar.Net | Senin, 13 Oktober 2014 ]

Karakter Moral atau Budi Pekerti

Karakter Moral atau Budi Pekerti

Karakter Moral atau Budi Pekerti
Karakter atau budi pekerti bukan materi pelajaran, tetapi perbuatan yang harus ditanamkan.
Karakter moral atau karakter adalah evaluasi kualitas moral yang stabil individu tertentu. Konsep karakter dapat menyiratkan berbagai atribut termasuk adanya atau kurangnya kebajikan seperti empati, keberanian, ketabahan, kejujuran, dan kesetiaan, atau perilaku yang baik atau kebiasaan. Karakter moral terutama mengacu pada himpunan kualitas yang membedakan satu individu dari yang lain - meskipun pada tingkat budaya, set perilaku moral untuk yang satu menganut kelompok sosial dapat dikatakan untuk bersatu dan mendefinisikannya budaya yang berbeda dari orang lain. Psikolog Lawrence Pervin mendefinisikan karakter moral sebagai "disposisi untuk mengekspresikan perilaku dalam pola yang konsisten dari fungsi di berbagai situasi".

Kata "karakter" berasal dari kata Yunani Kuno "Charakter", mengacu pada tanda terkesan pada koin. Kemudian datang berarti titik di mana satu hal diberitahu terpisah dari orang lain. Ada dua pendekatan ketika berhadapan dengan karakter moral. (1) Etika Normatif melibatkan standar moral yang menunjukkan perilaku benar dan salah. Ini adalah tes perilaku yang tepat dan menentukan apa yang benar dan salah. (2) Etika terapan melibatkan isu-isu spesifik dan kontroversial bersama dengan pilihan moral, dan cenderung melibatkan situasi di mana orang-orang baik untuk atau terhadap masalah ini.

Sebenarnya setiap manusia sejak zaman Nabi Adam sudah punya karakter mulia, yaitu karakter dasar yang paling hakiki yang diturunkan oleh Sang Maha Pencipta, yaitu aturan tingkah laku benar berdasarkan agama samawi. Jika kita dikembalikan pada ajaran tiap agama samawi, pasti semua agama mengajarkan tentang perbuatan baik dan anjuran untuk melaksanakan, juga tentang akibat perbuatan buruk dan kewajiban untuk meninggalkannya (dalam ajaran agama Islam setiap muslim diwajibkan memiliki akhlaqul karimah), dampakanya jika yang baik dilaksanakan dan yang buruk ditinggalkan pasti membawa ketenteraman dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akherat secara universal (rahmatan lil ‘aalamiin).

Setiap komunitas/etnik punya harapan yang sama, yaitu semua anggota komunitas bisa melaksanakan pola kehidupan normatif sesuai dengan karakter kolektif yang dimiliki. Dalam hal ini kewajiban orang dewasa harus bersikap jujur selain sebagai pelaku karakter, pemberi contoh, penasihat, pemberi worning, pemberi penghargaan dan sanksi secara adil terhadap diri mereka masing-masing dan terhadap orang lain terutama kepada generasi yang lebih muda.

Sebelum menetapkan sesorang mempunyai karakter harapan kolektif atau tidak, setiap anggota masyarakat dewasa harus menengok diri sendiri apakah ia sudah berkarakter mulia atau belum, sehingga di dalam kehidupan bermasyarakat tidak timpang dan tidak saling menyalahkan. Bisa jadi terbentuknya karakter menyimpang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang bisa meresahkan masyarakat luas dan divonis berkarakter buruk, sebenarnya hanyalah efek dari perbuatan orang dewasa yang menjadi anutan atau teladan nasional yang sudah menyimpang dari norma.

Karakter atau budi pekerti bukan materi pelajaran, tetapi perbuatan yang harus ditanamkan dari generasi awal ke generasi berikutnya hingga akhir zaman. Karakter tidak perlu diajarkan dalam bentuk pembelajaran, karena terbentuknya karakter adalah perbuatan rutin dan latah dilakukan setiap hari. Guru tidak perlu mengajarkan dalam kelas secara teoritik karena sudah masuk (include) dalam pembelajaran semua mata pelajaran dan kehidupan sosial. Nilai-nilai karakter berdasarkan budaya bangsa Indonesia sepert: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kretif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu. Semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/berkomunikasi, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan dan sosial, serta tanggung jawab bisa tertanam dalam jiwa siswa jika hal itu dibiasakan dalam kehidupan sehingga tumbuh menjadi kebiasaan.

Siapa yang harus mempunyai karakter mulia? Semua anggota masyarakat (tua-muda, pejabat-rakyat, berpendidikan-tidak berpendidikan, beragama samawi-beragama ardhi) harus memiliki karakter moral mulia/akhlaqul karimah. Tindakan salah kaprah yang hingga kini adalah selalu membahas kesalahan pelajar/maha siswa karena dicap berkarakter jelek setelah ada berita tawuran pelajar, dekandensi moral pemuda, mahasiswa pengguna narkoba dan melayani sex komersial, dll., kemudian mencetuskan ide-ide atau program-program pendidikan karakter. Seharusnya bukan kesalahan para pemuda, pelajar, dan mahasiswa saja yang menjadi trading topic setiap mucul berita negatif, kesalahan orang-orang kondang yang seharusnya dihormati yang lebih diutamakan untuk rehabilitasi dan proteksi penularannya.

Sebenarnya semua manusia ketika dilahirkan dalam kedaan fitroh/suci. Datangnya pengaruh buruk yang dampaknya menjadi karakter bangsa (karena terlatih dan melekat pada jiwa generasi muda) justru dari orang dewasa, karena kodrat manusia dan hewan secara naluri/instink sifat genetika induk mempengaruhi keturunan. Maka sebenarnya yang meyimpang lebih dulu adalah generasi tua. Jika nilai-nilai karakter di atas sudah dilakukan dan tertanam dengan benar oleh orang-orang yang lahir dahulu, tentu generasi muda tidak perlu dikhawatirkan dan tidak pelu diadakan pendidikan karakter secara khusus.

Masalah yang terjadi sekarang adalah perilaku masyarakat sudah tidak normatif lagi, dan para pemuda, mahasiswa, serta pelajar banyak yang amoral. Para pejabat banyak yang korupsi, kejahatan semakin menjadi-jadi, sementara keadilan dunia semakin sulit dicari. Kenakalan remaja merajalela, begal motor dan geng motor selalu meneror, dan pelecehan seksual semakin brutal. Banyak orang yang lupa pesan Pujanagaaga Mataram, Ronggowarsito: “Anemahi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, ora ngedan tan kumanan. Sak beja-bejane wong kang lali isih beja wong kang eling lan waspada.” (“Menemuhi situasi gila, repot untuk memilih, kalau tidak ikut gila tidak mendapat bagian. Seuntung-untungnya orang lupa, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada”).

Revolusi moral tidak segera dimulai berarti sengaja bunuh diri. Suatu bangsa akan semakin terpuruk mana kala karakter moral penduduknya tak terkontrol dan terkendali. Situasi dan kondisi yang semakin menjadi-jadi akan membentuk karakter moral/budi pekerti membunuh generasi yang berdampak pada kehidupan mendatang.

Tidak ada istilah terlambat untuk kembali ke kodrat. Masyarakat yang ingin bangkit merevolusi diri secara bersama dan serentak mengubah tabiat buruk dan bertobat, jalan keluar dari keterpurukan masih terbuka. Hal ini tinggal bagaimana dan kapan memulai, bukan hanya sekedar bicara pendidikan karakter yang didengungkan santer. Sergera bertindak nyata solusi pasti ada. Menunda sama halnya dengan apatis, membiarkan berarti menununggu kiamat tanpa ikhtiar.

Bagaimana menanamkan jiwa berkarakter moral/berbudi pekerti mulia? Resep untuk mengembalikan bangsa ini ke jati diri sesuai harapan, yang harus dilaksanakan secara serentak dan berkoordinasi antara lain melalui:

1. Konsistensi terhadap sistem semerintahan yang benar oleh semua pihak
2. Ketegasan penegak hukum dalam menegakkan keadilan
3. Keteladanan aparat negara dan tokoh masyarakat
4. Kesadaran penduduk terhadap implementasi norma agama, norma sosial, dan kelestarian lingkungan
5. Menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat secara mikro maupun makro
6. Penanaman akhlaqul karimah dan kaidah kehidupan bermasyarakat sejak dini
7. Pembiasaan akhlaqul karimah dalam kehidupan rumah, sekolah, dan masyarakat
8. Melestarikan sikap tolong menolong dan gotong royong
9. Membiasakan sopan santun dalam segala bentuk berkomunikasi dan bertingkah laku
10. Menghargai dan melestarikan budaya bangsa
11. Mengutamakan musyawarah dalam mencapai mufakat
12. Saling menghargai dan menghormati sesama warga negara.

*) Ditulis oleh Indra. PNS di lingkungan didikpora kabupaten Agam Sumbar